Aku menjumpai pagi berhujan,
tarian kabut lindap disela lerai daun pinus basah,
Berguguran serupa luka masa lalu,
terbawa angin, terbawa dingin,
semoga
Kau akan tetap terselip diantara huruf-huruf yang kubaca
diantara butir-butir udara yang kuhirup,
bahkan disela-sela sel-sel darah yang menghidupkanku
Aku tetap percaya kepada kata, kepada huruf
Itulah yang menyebabkan adanya hubungan antara oasis dan bukit-bukit pasir itu
Tanpa Mimpi, orang seperti kita akan mati -Andrea Hirata-
Kalau kau dapat melihat kedalam jiwaku
Kau akan melihat sunga mengalir
anak-anak sungai itu berhilir di mataku
dan bermuara di wajahmu
Tak jua pupus
Elegi kau bagi, tiada peduli
Peduli apa kau?
Mengingati luka sekedar
Pagi kemarin kucoba untuk tak ingat, pahitnya.
Siangnya karena lapar, aku lupa
Sorenya, teriknya pergi dan aku lupa.
Malamnya bertubi-tubi kau paksa aku ingat
Lagi dan lagi
Kau ingati betapa aku ingin lupa
Ini soal rasa,
Bukan ukuran yg bisa diukur alat ukur
Tak sekedar, menaruh, titipkan
Apa sengaja kau tanamkan? biar mengakar
Ahh, sudahlah
Biarkan saja aku, kau
Dia, Yang Maha membolak-balikkan hati
Biar sudahi segenap hitam ini
Elegi kau bagi, tiada peduli
Peduli apa kau?
Mengingati luka sekedar
Pagi kemarin kucoba untuk tak ingat, pahitnya.
Siangnya karena lapar, aku lupa
Sorenya, teriknya pergi dan aku lupa.
Malamnya bertubi-tubi kau paksa aku ingat
Lagi dan lagi
Kau ingati betapa aku ingin lupa
Ini soal rasa,
Bukan ukuran yg bisa diukur alat ukur
Tak sekedar, menaruh, titipkan
Apa sengaja kau tanamkan? biar mengakar
Ahh, sudahlah
Biarkan saja aku, kau
Dia, Yang Maha membolak-balikkan hati
Biar sudahi segenap hitam ini
ENIGMA
Begitu lama bunga bunga berguguran
membuai musim yang tak henti mengadu
pada laut, pada langit
barangkali kita terlalu lam saling mencari
Hingga seringkali lupa
Semua dalam belenggu
Kedunguan kita masing-masing
Masih saja engkau,
Menahan rintih di puncak pinus, keakuan
MANTERA
Sutardji Calzoum Bachri
lima percik mawar
tujuh sayap merpati
sesayat langit perih
dicabik puncak gunung
sebelas duri sepi
dalam dupa rupa
tiga menyan luka
mengasapi duka
puah!
kau jadi Kau!
Kasihku
Adalah Dia,
Adalah Dia,Adalah Dia,Adalah Dia,Adalah Dia,
Adalah Dia,Adalah Dia,Adalah Dia,Adalah Dia,
Adalah Dia,Adalah Dia,Adalah Dia,Adalah Dia,
Adalah Dia,Adalah Dia,Adalah Dia,Adalah Dia,
Adalah Dia,Adalah Dia,Adalah Dia,Adalah Dia,
Adalah Dia,Adalah, Dia, Adalah, Ada, Dia, Ada
***
Sebuah buah,
Sebutir butir,
Sepiring piring,
telur,
melur,
perut,
mulut...
mulut, mulut, perut..
***
Elegi habismu
Terbangun,
kemarin aku membuka mata dan memiliki segalanya,
Tak lagi kurasakan dingin menusuk seperti pagi kemarin,
tirai tirai cahaya yang menelusup diantara rerimbun pepohon,
Pagi ini biarkan aku kehilangan segalanya,
Perjalanan kemarin elok kukenang dalam ingatan,
Terimakasih, terimakasih terimalah kasih..
Kini biarkan kusembahkanembun-embun keharuanku
airmata, air, mata..
***
Angin selatan brcngkerama dengan tunas-tunas padi baru.
Berayun seirama. Mentari masih enggan kembali keperaduan prkasa.
Angin, derunya bradu dg berisik mesin2 irigasi.
Menemani lamun ku. Mimpi, harapan.
Semoga kata-kata itu tak sekedar
Mewakili rajutan angan-angan kosong berkepanjangan.
Semoga
***
Rembulan menangis, dserambi malam.
Langit pekat & putih gemelantung awan perada
dicabik cakar-cakar perkasa angin utara
Aku, masih, tersedu, trsudut di ujung malam.
Hanyut dalam haru biru.
Memiliki, kehilangan, adalah keniscayaan
***
Sahabatku
meletakkan aku dengan nyaman di sisinya.
dia tak pernah memintaku brsamanya
tapi ia selalu membuatnya bersamaku.
kadang aku bertanya dalam hatiku
sudahkah aku menjadi sahabatnya?
sudahkah aku mengenal hatinya
hingga dalam diam pun aku tahu ia bicara
bahwa kami adalah sahabat
ia sahabatku.
***
Berbaris bulir kecil membasahi
menari bersama sepoi, dingin meraba
disini
Bentang marun membiru
Dewi nyaris purnama
tak terbenam dalam gumul kelam
disini aku,
membisu, bersama
sepotong hati yang baru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar